Ketiban tangga dua kali,
mungkin ini yang terjadi pada saya. Saya harus rela mengalami 2 insiden yang
sama-sama memalukan di tempat yang berdekatan, waktu yang berbeda, dan oleh
pelaku yang kondisi mentalnya kurang lebih sama.
Tidak pernah terlintas
sedikitpun di benak saya, akan mendapat perlakukan “istimewa” dari orang-orang
itu. Yang pasti kita akan serba salah kalau sudah berhadapan dengan mereka.
Diladeni dengan kekerasan salah, dengan kelembutan apalagi. Mungkin menjauh
adalah satu-satunya jalan terbaik. Tetapi dalam dua insiden ini, saya tidak
punya kesempatan untuk membela diri apalagi menghindar, karena kejadiannya
begitu cepat dan tidak terduga.
Insiden pengeboman
memalukan yang pertama terjadi di depan sebuah warung dekat kantor saya,
sekitar pukul 5 sore waktu bagian tengah. Saya dan suami berencana mengunjungi
dokter praktek di apotik terdekat. Ternyata prakteknya belum buka, sehingga
kami memutuskan untuk pulang dulu. Dalam perjalanan pulang, saya minta mampir
di warung untuk membeli sesuatu. Semua nampak biasa saja, sampai kami berhenti
di depan sebuah warung. Saya turun dari sepeda motor tanpa melepas helm. Masih
dengan perasaan biasa saja. Tidak ada firasat buruk, tidak ada angin berhembus,
tidak ada burung berkicau. Semua tampak normal. Saya berjalan menuju warung.
Disinilah malapetaka terjadi. Seorang wanita berlari dari kejauhan sambil
berteriak, ketika melihat saya, dia langsung memegangi kepala saya dari
belakang lalu mengguncang-guncang saya seperti celengan. Cepat sekali, dia
langsung kabur seketika, dikejar oleh suami saya. Badan saya terguncang, badai
menggelegar, saya langsung nangis. Orang-orang di sekitar berhamburan mendekati
saya, bertanya apakah saya baik-baik saja. Well, orang yang sudah
diguncang-guncang kepalanya sama seseorang berbadan besar (tak tahu itu apa,
karena saya tak sempat melihat dengan jelas) apakah mungkin baik-baik saja...
Yang pasti shock stadium 4 season 2. Rasa malu mengalahkan sakit. Ketika suami
saya kembali, terungkaplah bahwa pelaku kekerasan terhadap anak di bawah umur
tadi adalah seorang wanita dengan kondisi gangguan jiwa. Saya tidak tahu harus
menangis atau mukul-mukul meja sambil teriak demi Tuhaan...!
Kira-kira dua minggu setelah
insiden itu, saya kembali menjalani hidup seperti biasa. Ceria seperti biasa,
tanpa firasat apa-apa seperti biasa.
Hari itu Selasa, 18 Juni 2013
pukul 16.00 WITA saya membereskan meja kerja, menyimpan berkas-berkas dan
bersiap-siap pulang. Sebelumnya suami saya sudah telepon karena tidak bisa
menjemput saya. Maka sayapun nebeng sama seorang teman kantor, Mbak Wi. Kita
berjalan dengan sukacita menuju parkiran. Setelah berpamitan dengan teman-teman
dan mengucapkan sayonara, kamipun meluncur.
Baru sampai di depan halaman
kantor, ada seorang lelaki setengah baya dengan penampilan biasa, menggunakan
sarung tangan, tampak seperti pekerja bangunan melambaikan tangan pada kami. Anehnya
saat itu suasana benar-benar sepi. Tak ada satupun orang di sekitar halaman
kantor. Kami curiga, dan tidak menghiraukannya. Berhubung kondisi jalan
berbatu-batu di halaman kantor, Mbak Wi tidak bisa memacu cepat sepeda
motornya. Disinilah kejadian ajaib itu terjadi. Ketika berpapasan dengan orang
itu, dengan ganasnya dia membekap wajah saya. Mbak Wi jadi panik, dan sepeda
motor agak oleng. Karena takut, Mbak Wi membelok ke arah garasi mobil bos.
Beruntung orang aneh itu melepaskan bekapannya, dan saya selamat. Mbak Wi
teriak-teriak minta tolong, sementara saya sibuk membersihkan wajah saya (gile, sarung
tangannya kotor amit). Kami bersembunyi di garasi mobil bos sementara menunggu
orang itu pergi. Dan akhirnya kami pulang dikawal oleh seorang karyawan toko
milik bos. Keesokan harinya, gosip pun
beredar. Kami jadi bahan pembicaraan hangat, judulnya “Tika dicekik orang gila”.
Belakangan kami tahu bahwa
orang itu adalah orang dengan gangguan jiwa dan sudah beberapa hari ini mangkal
di sekitar kantor. Anehnya, kami tak pernah sekalipun melihatnya. Mungkin sudah
takdir. Takdir yang menggelikan, karena sudah dua kali saya dianiaya sama orang
dengan gangguan jiwa. Yang memprihatinkan, saya merasa di lingkungan ini
(Landasan Ulin, red) banyak orang dengan gangguan jiwa. Mungkin faktor tekanan
hidup dan ekonomi yang semakin mencekik leher, atau meningkatnya kegalauan
(putus cinta, red). Apapun penyebabnya, yang pasti saya sudah dua kali menjadi
korban penganiayaan, huhu...
Well, siapapun tidak ada yang
mau mengalami gangguan mental seperti itu, kita doakan saja semoga mereka
tenang di alamnya (alam pikiran mereka sendiri maksudnya). Dan kita yang masih
normal, sudah seharusnya bersyukur dengan keadaan kita, karena rasa tidak
pernah puas selalu ada di dalam diri manusia. Waspadalah... waspadalah!
No comments:
Post a Comment