Sunday, June 23, 2013

Ketiban Tangga Dua Kali



Ketiban tangga dua kali, mungkin ini yang terjadi pada saya. Saya harus rela mengalami 2 insiden yang sama-sama memalukan di tempat yang berdekatan, waktu yang berbeda, dan oleh pelaku yang kondisi mentalnya kurang lebih sama.

Tidak pernah terlintas sedikitpun di benak saya, akan mendapat perlakukan “istimewa” dari orang-orang itu. Yang pasti kita akan serba salah kalau sudah berhadapan dengan mereka. Diladeni dengan kekerasan salah, dengan kelembutan apalagi. Mungkin menjauh adalah satu-satunya jalan terbaik. Tetapi dalam dua insiden ini, saya tidak punya kesempatan untuk membela diri apalagi menghindar, karena kejadiannya begitu cepat dan tidak terduga.

Insiden pengeboman memalukan yang pertama terjadi di depan sebuah warung dekat kantor saya, sekitar pukul 5 sore waktu bagian tengah. Saya dan suami berencana mengunjungi dokter praktek di apotik terdekat. Ternyata prakteknya belum buka, sehingga kami memutuskan untuk pulang dulu. Dalam perjalanan pulang, saya minta mampir di warung untuk membeli sesuatu. Semua nampak biasa saja, sampai kami berhenti di depan sebuah warung. Saya turun dari sepeda motor tanpa melepas helm. Masih dengan perasaan biasa saja. Tidak ada firasat buruk, tidak ada angin berhembus, tidak ada burung berkicau. Semua tampak normal. Saya berjalan menuju warung. Disinilah malapetaka terjadi. Seorang wanita berlari dari kejauhan sambil berteriak, ketika melihat saya, dia langsung memegangi kepala saya dari belakang lalu mengguncang-guncang saya seperti celengan. Cepat sekali, dia langsung kabur seketika, dikejar oleh suami saya. Badan saya terguncang, badai menggelegar, saya langsung nangis. Orang-orang di sekitar berhamburan mendekati saya, bertanya apakah saya baik-baik saja. Well, orang yang sudah diguncang-guncang kepalanya sama seseorang berbadan besar (tak tahu itu apa, karena saya tak sempat melihat dengan jelas) apakah mungkin baik-baik saja... Yang pasti shock stadium 4 season 2. Rasa malu mengalahkan sakit. Ketika suami saya kembali, terungkaplah bahwa pelaku kekerasan terhadap anak di bawah umur tadi adalah seorang wanita dengan kondisi gangguan jiwa. Saya tidak tahu harus menangis atau mukul-mukul meja sambil teriak demi Tuhaan...!

Kira-kira dua minggu setelah insiden itu, saya kembali menjalani hidup seperti biasa. Ceria seperti biasa, tanpa firasat apa-apa seperti biasa.

Hari itu Selasa, 18 Juni 2013 pukul 16.00 WITA saya membereskan meja kerja, menyimpan berkas-berkas dan bersiap-siap pulang. Sebelumnya suami saya sudah telepon karena tidak bisa menjemput saya. Maka sayapun nebeng sama seorang teman kantor, Mbak Wi. Kita berjalan dengan sukacita menuju parkiran. Setelah berpamitan dengan teman-teman dan mengucapkan sayonara, kamipun meluncur.
Baru sampai di depan halaman kantor, ada seorang lelaki setengah baya dengan penampilan biasa, menggunakan sarung tangan, tampak seperti pekerja bangunan melambaikan tangan pada kami. Anehnya saat itu suasana benar-benar sepi. Tak ada satupun orang di sekitar halaman kantor. Kami curiga, dan tidak menghiraukannya. Berhubung kondisi jalan berbatu-batu di halaman kantor, Mbak Wi tidak bisa memacu cepat sepeda motornya. Disinilah kejadian ajaib itu terjadi. Ketika berpapasan dengan orang itu, dengan ganasnya dia membekap wajah saya. Mbak Wi jadi panik, dan sepeda motor agak oleng. Karena takut, Mbak Wi membelok ke arah garasi mobil bos. Beruntung orang aneh itu melepaskan bekapannya, dan saya selamat. Mbak Wi teriak-teriak minta tolong, sementara saya  sibuk membersihkan wajah saya (gile, sarung tangannya kotor amit). Kami bersembunyi di garasi mobil bos sementara menunggu orang itu pergi. Dan akhirnya kami pulang dikawal oleh seorang karyawan toko milik bos.  Keesokan harinya, gosip pun beredar. Kami jadi bahan pembicaraan hangat, judulnya “Tika dicekik orang gila”.

Belakangan kami tahu bahwa orang itu adalah orang dengan gangguan jiwa dan sudah beberapa hari ini mangkal di sekitar kantor. Anehnya, kami tak pernah sekalipun melihatnya. Mungkin sudah takdir. Takdir yang menggelikan, karena sudah dua kali saya dianiaya sama orang dengan gangguan jiwa. Yang memprihatinkan, saya merasa di lingkungan ini (Landasan Ulin, red) banyak orang dengan gangguan jiwa. Mungkin faktor tekanan hidup dan ekonomi yang semakin mencekik leher, atau meningkatnya kegalauan (putus cinta, red). Apapun penyebabnya, yang pasti saya sudah dua kali menjadi korban penganiayaan, huhu...

Well, siapapun tidak ada yang mau mengalami gangguan mental seperti itu, kita doakan saja semoga mereka tenang di alamnya (alam pikiran mereka sendiri maksudnya). Dan kita yang masih normal, sudah seharusnya bersyukur dengan keadaan kita, karena rasa tidak pernah puas selalu ada di dalam diri manusia. Waspadalah... waspadalah!

No comments:

Post a Comment